sejarah al-quran 1
sejarah al-quran
AL-QURAN bagi kaum Muslimin yaitu verbum dei (kalãmu-
Allãh) yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui
perantaraan Jibril selama kurang lebih dua puluh tiga tahun. Kitab
suci ini memiliki kekuatan luar biasa yang berada di luar
kemampuan apapun: “Seandainya Kami turunkan al-Quran ini
kepada sebuah gunung, maka kamu akan melihatnya tunduk
terpecah-belah sebab gentar kepada Allah” (59:21). Kandungan
pesan Ilahi yang disampaikan Nabi pada permulaan abad ke-7 itu
telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial kaum
Muslimin dalam segala aspeknya. Bahkan, warga Muslim
mengawali eksistensinya dan memperoleh kekuatan hidup dengan
merespon dakwah al-Quran. Itulah sebabnya, al-Quran berada tepat
di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman
keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-
Quran, kehidupan, pemikiran dan kebudayaan kaum Muslimin
tentunya akan sulit dipahami.
Al-Quran memang tergolong ke dalam beberapa kecil kitab
suci yang memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap
jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk
mengabsahkan perilaku, menjustifikasi tindakan peperangan,
melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan, dan
memperkukuh identitas kolektif.1 Ia juga digunakan dalam
kebaktian-kebaktian publik dan pribadi kaum Muslimin, serta
dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga.2
Pembacaannya dipandang sebagai tindak kesalehan dan
pelaksanaan ajarannya merupakan kewajiban setiap Muslim.
ini
beberapa pengamat Barat memandang al-Quran sebagai suatu
kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi.3 Bahasa, gaya, dan
aransemen kitab ini pada umumnya telah menimbulkan masalah
khusus bagi mereka.4 Masa pewahyuannya yang terbentang sekitar
dua puluh tahunan, merefleksikan perubahan-perubahan
lingkungan, perbedaan dalam gaya dan kandungan, bahkan
ajarannya. Sekalipun bahasa Arab yang digunakannya dapat
dipahami, ada bagian-bagian di dalamnya yang sulit
dipahami.5 Kaum Muslimin sendiri, dalam rangka memahaminya,
telah menghasilkan berton-ton kitab tafsîr yang berusaha
menjelaskan makna pesannya. Sekalipun demikian, beberapa besar
mufassir Muslim masih tetap memandang kitab itu mengandung
bagian-bagian mutasyãbihãt yang, menurut mereka, maknanya
cuma hanya diketahui oleh Tuhan.
Sejak pewahyuannya hingga kini, al-Quran telah mengarungi
sejarah panjang selama empat belas abad lebih. Diawali dengan
penerimaan pesan ketuhanan al-Quran oleh Muhammad,
kemudian penyampaiannya kepada generasi pertama Islam yang
telah menghafal dan merekamnya secara tertulis, hingga stabilisasi
teks dan bacaannya yang mencapai kemajuan berarti pada abad
ke-3H/9 dan abad ke-4H/10 serta berkulminasi dengan penerbitan
edisi standar al-Quran di Mesir pada 1342H/1923, kitab suci kaum
Muslimin ini masih menyimpan beberapa misteri dalam berbagai
tahapan perjalanan kesejarahannya.
Telah banyak buku yang ditulis kesarjanaan Islam dan Barat
untuk mengungkapkan perjalanan kesejarahan al-Quran. namun ,
karya-karya kesarjanaan Muslim pada umumnya disusun mengikuti
sudut pandang resmi ortodoksi Islam yang rentan terhadap kritik
sejarah. Demikian pula, dekonstruksi dan evaluasi Barat atas sejarah
al-Quran, dalam kebanyakan kasus, dipijakkan pada prasangka
religius – terutama dari tradisi Yudeo-Kristiani – atau prasangka
intelektual dalam bentuk prakonsepsi gagasan dan kategori, serta
prasangka kultural yang berakar pada etnosentrisme Barat. Kajian-
kajian Barat juga sering tidak simpatik dan, hingga taraf tertentu,
telah mengaduk-aduk berbagai prasangka dogmatis umat Islam.6
Di sisi lain, beberapa karya tentang sejarah al-Quran yang telah
masuk ke pasaran warga Muslim Indonesia, selain bisa
dihitung dengan jari, terlihat masih miskin dari segi kandungan
dan kualitasnya. Beberapa karya terjemahan dari bahasa Arab,7
tampak tidak kritis dan analitis, serta – dalam kebanyakan kasus
– lebih merefleksikan perspektif ortodoksi Islam tentang sejarah
al-Quran. Pengecualiannya yaitu karya Abu Abd Allah az-Zanjani,
Tarîkh al-Qur’ãn, yang dalam beberapa butir tertentu merefleksikan
sudut pandang Syi‘ah anutannya – seperti pandangan tentang
mushaf al-Quran yang telah “terkumpul” seluruhnya pada masa
Nabi oleh Ali ibn Abi Thalib, bahkan lengkap dengan takwil dan
tafsirnya.8 Lebih jauh, karya az-Zanjani juga memiliki kelemahan
yang sama dengan karya-karya kesarjanaan Muslim lainnya.
Karya rintisan sarjana Indonesia di bidang sejarah al-Quran
ditulis Adnan Lubis, Tãrîkh al-Qur’ãn – terbit di Medan pada
1941.9 sesudah itu, muncul karya Abu Bakar Aceh, Sejarah al-
Qur’ãn (1948).10 Meskipun mengaku mendapat inspirasi dari karya-
karya kesarjanaan Barat tentang sejarah al-Quran,11 karya Aceh
memiliki kandungan yang tidak sistematis menurut ukuran
penulisan sejarah. Bahan-bahan yang secara ketat tidak dihitung
sebagai bagian sejarah al-Quran dimasukkan ke dalam bukunya
tanpa pandang bulu.12
Karya kesarjanaan Muslim Indonesia lainnya yaitu Sejarah
al-Quran, disusun H.A. Mustofa.13 Sebagaimana rata-rata karya
kesarjanaan Islam, buku ini – selain kandungannya relatif miskin
dan memprihatinkan – juga terlihat tidak kritis dalam mem-
perlakukan data kesejarahan al-Quran. Disamping itu, pada level
saintifik, karya ini terlihat sangat menyedihkan dengan non-
eksistensinya rujukan kepada sumber-sumber informasi yang
digunakan penulisnya.
Dari pertimbangan-pertimbangan di atas, terlihat bahwa suatu
rekonstruksi sejarah al-Quran yang bisa bertahan terhadap kritik
sejarah, dan sekaligus bisa berhadapan dengan berbagai prasangka
Barat, yaitu kebutuhan yang cukup mendesak. Kajian ini ingin
melakukan rekonstruksi semacam itu dengan menelusuri masalah-
masalah utama tentang asal-usul dan pewahyuan al-Quran,
pengumpulannya, serta stabilisasi teks dan bacaannya. Dengan
demikian, permasalahan-permasalahan yang menjadi objek studi
ini bisa dikatakan mencakup keseluruhan etape perjalanan historis
al-Quran. Hasil kajiannya diharapkan bisa memberikan kontribusi
yang signifikan di bidang sejarah kitab suci kaum Muslimin.
Sesuai dengan tujuan utamanya, kajian ini mesti berpegang
secara ketat pada pendekatan sejarah. Namun, sebab beberapa
bagian dari sejarah ini melibatkan intensitas pemahaman
keagamaan, maka interpretasi yang dilakukan di sini tidak cuma hanya
bersifat historis semata, namun juga bersifat islami. Data kesejarahan
di sini tidak diperlakukan sebagai sekadar data mati untuk
dianalisis, namun sebagai sesuatu yang memiliki implikasi religius
bagi masa depan kaum Muslimin dan kitab sucinya. sebab itu,
kajian ini juga bersifat preskriptif dan diharapkan bisa
menyumbangkan perspektif-perspektif yang baru dan segar dalam
studi-studi al-Quran.
Dalam penelusuran jejak historis al-Quran, asal-usul, dan
perjalanan kesejarahannya yang awal, kitab suci itu akan
diperlakukan dan digunakan sebagai sumber primer. Sebagaimana
diakui, al-Quran merupakan rekaman otentik berbagai aspek
kesejarahan pra-Islam dan pada masa pewahyuannya. Sumber-
sumber lainnya, seperti hadits dan karya-karya klasik ataupun
modern kesarjanaan Muslim, akan digunakan secara kritis dalam
penelusuran ini . Demikian pula, karya-karya kesarjanaan Barat
yang bertalian dengan kajian al-Quran – baik tentang sejarah al-
Quran ataupun lainnya – juga akan dieksploitasi dengan cara yang
sama. Dalam beberapa kasus, akan dilakukan evaluasi terhadap
gagasan-gagasan kesarjanaan Muslim dan Barat tentang berbagai
aspek kesejarahan al-Quran. Sementara keragaman tradisi teks dan
bacaan al-Quran, terutama menyangkut mushaf-mushaf pra-
utsmani, akan didekati dengan memanfaatkan edisi standar al-
Quran Mesir (1923) – yang memakai kiraah Hafsh ‘an Ashim
– sebagai pijakan.
Kajian tentang perjalanan historis al-Quran ini dituangkan ke
dalam tiga bagian utama. Bagian pertama akan mengungkapkan
asal-usul dan pewahyuan al-Quran. Bagian ini terdiri dari tiga bab:
bab pertama berusaha meletakkan al-Quran dalam latar
kesejarahannya – baik dalam konteks situasi sosio-politik serta
religius Arabia menjelang dan pada saat pewahyuan al-Quran,
maupun dalam konteks kehidupan Nabi Muhammad sendiri. Bab
kedua berusaha menelusuri asal-usul al-Quran dari gagasan kitab
suci ini dan gagasan-gagasan lain yang berusaha memberi
gambaran mengenainya. Pembicaraan tentang asal-usul al-Quran
akan mengarah pada diskusi tentang hubungan wahyu ilahi dan
Nabi yang juga dibahas dalam bab ini. Sementara pewahyuan
bagian-bagian al-Quran, yang menelaah secara kronologis sekuensi
pewahyuannya menurut berbagai sudut pandang, akan
dikemukakan dalam bab ketiga.
Bagian kedua akan mendiskusikan pengumpulan al-Quran,
baik dalam bentuk hafalan dan – terutama sekali – dalam bentuk
tulisan. Aktivitas pengumpulan al-Quran (jam‘u-l-qur’ãn) bermula
pada masa Nabi dan berujung dengan kodifikasi resmi pada masa
kekhalifahan Utsman ibn Affan. Bagian ini terdiri dari empat bab.
Dalam bab keempat akan dilacak berbagai usaha awal dalam
pengumpulan al-Quran pada masa kehidupan Nabi dan beberapa
saat sesudah wafatnya. Kandungan kumpulan al-Quran yang awal
ini juga akan didiskusikan di dalam bab ini . Beberapa
kumpulan al-Quran yang berpengaruh sesudah wafatnya Nabi
hingga beberapa saat sesudah promulgasi mushaf resmi utsmani
akan dikemukakan dalam bab kelima, berikut paparan tentang
berbagai perbedaan yang eksis didalamnya dengan tradisi teks dan
bacaan utsmani. Kodifikasi mushaf utsmani dibahas dalam bab
selanjutnya – bab keenam – disertai paparan tentang penyebaran,
varian-varian, dan berbagai karakteristik utamanya. Bagian kedua
ini diakhiri dengan suatu bab tentang otentisitas dan integritas
mushaf utsmani. Berbagai gagasan yang dikemukakan sejauh ini
tentangnya, baik dari kalangan Muslim ataupun non-Muslim, akan
dieksplorasi secara kritis.
Bagian ketiga, terdiri dari dua bab, akan mengungkapkan
berbagai proses yang mengarah dan berujung pada stabilisasi teks
dan bacaan al-Quran. Proses stabilisasi teks al-Quran diawali dengan
standardisasi mushaf utsmani dan dicapai dengan serangkaian
usaha eksperimental untuk menyempurnakan aksara Arab, yang
memperoleh bentuk finalnya pada penghujung abad ke-3H/9. Bab
kedelapan dipusatkan untuk menelaah proses penyempurnaan
aksara ini . Sementara proses stabilisasi bacaan al-Quran juga
dicapai melalui serangkaian usaha unifikasi bacaan yang berjalan
berdampingan dengan penyempurnaan aksara Arab sesudah
dipromulgasikannya mushaf utsmani. Proses ini mencapai
kemajuan sangat berarti pada permulaan abad ke-4H/10 – dengan
diterimanya gagasan Ibn Mujahid mengenai kiraah tujuh – dan
berkulminasi pada 1923 dengan terbitnya al-Quran edisi standar
Mesir, yang memakai bacaan Hafsh ‘an Ashim dan menjadi
panutan mayoritas umat Islam. Proses unifikasi bacaan ini dibahas
dalam bab kesembilan.
Berbagai simpulan yang dapat ditarik dari kajian ini akan
diketengahkan dalam bagian penutup, disertai beberapa implikasi
penelitian. Di samping itu, dua lampiran yang mengungkapkan
respon umat manusia terhadap al-Quran juga disertakan. Lampiran
pertama mengemukakan beberapa respon kaum Muslimin terhadap
al-Quran, lewat pembacaan dan penghafalan kitab suci ini ,
penerjemahan, serta penafsirannya. Sedangkan lampiran kedua
mendiskusikan respon kesarjanaan Barat terhadap al-Quran melalui
terjemahan, suntingan dan kajiannya.
BAGIAN PERTAMA
Asal-usul dan Pewahyuan
al-Quran
BAGIAN INI mengungkapkan asal-usul dan
pewahyuan al-Quran, yang dituangkan ke dalam
tiga bab: bab pertama mencoba meletakkan al-
Quran dalam latar kesejarahannya – baik dalam
konteks situasi sosio-politik serta religius Arabia
menjelang dan pada saat pewahyuan al-Quran,
maupun dalam konteks kehidupan Nabi
Muhammad sendiri. Bab kedua berusaha
menelusuri asal-usul al-Quran dari gagasan kitab
suci ini dan gagasan-gagasan lain yang
berusaha memberi gambaran mengenainya.
Pembicaraan tentang asal-usul al-Quran akan
mengarah pada diskusi tentang hubungan wahyu
ilahi dan Nabi. Sementara pewahyuan bagian-
bagian al-Quran, yang menelaah secara kronologis
sekuensi pewahyuannya menurut berbagai sudut
pandang, akan dikemukakan dalam bab ketiga.
BAB 1
Latar Kesejarahan
Situasi Politik
JAZIRAH ARAB terletak sangat terisolasi, baik dari sisi daratan
maupun lautan. Kawasan ini – tempat Muhammad tampil
dengan pekabaran ilahinya pada abad ke-7 perhitungan tahun
Masehi – sebenarnya terletak di pojok kultural yang mematikan.
Sejarah dunia yang besar telah jauh meninggalkannya. Perselisihan
yang membawa peperangan antar suku berlangsung dalam skala
besar-besaran di stepa-stepa jazirah ini . Dari sudut pandang
negara-negara adikuasa, Arabia merupakan kawasan terpencil dan
biadab, sekalipun memiliki posisi cukup penting sebagai kawasan
penyangga dalam ajang perebutan kekuasaan politik di Timur
Tengah, yang saat itu didominasi dua imperium raksasa:
Bizantium dan Persia.
Kekaisaran Bizantium atau Kekaisaran Romawi Timur –
dengan ibu kota Konstantinopel – merupakan bekas Imperium
Romawi dari masa klasik. Pada permulaan abad ke-7, wilayah im-
perium ini telah meliputi Asia Kecil, Siria, Mesir dan bagian
tenggara Eropa hingga Danube. Pulau-pulau di Laut Tengah dan
sebagian daerah Italia serta beberapa kecil wilayah di pesisir Afrika
Utara juga berada di bawah kekuasaannya.
Saingan berat Bizantium dalam perebutan kekuasaan di Timur
Tengah yaitu Persia. saat itu, imperium ini berada di bawah
kekuasaan dinasti Sasanid (Sasaniyah). Ibu kota Persia yaitu al-
Mada’in, terletak sekitar dua puluh mil di sebelah tenggara kota
Bagdad yang sekarang. Wilayah kekuasaannya terbentang dari Irak
dan Mesopotamia hingga pedalaman timur Iran dewasa ini serta
Afganistan.
12 / TAUFIK ADNAN AMAL
Perebutan kekuasaan kedua imperium adidaya di atas memiliki
pengaruh nyata terhadap situasi politik di Arabia saat itu. Kira-
kira pada 521, Kerajaan Kristen Abisinia dengan dukungan penuh
– dan mungkin atas desakan – Bizantium menyerbu serta
menaklukkan dataran tinggi Yaman yang subur di barat daya
Arabia. Memandang serbuan ini sebagai ancaman terhadap
kekuasaannya, Dzu Nuwas – penguasa Arabia Selatan pro-Persia –
bereaksi dengan membantai orang-orang Kristen Najran yang
menolak memeluk agama Yahudi. Peristiwa pembantaian ini, terjadi
di sekitar 523, memiliki pengaruh traumatik terhadap keseluruhan
jazirah Arab dan dirujuk dalam suatu bagian al-Quran (85:4-8).
Atas desakan dan dukungan Bizantium, pada 525 Dzu Nuwas
berhasil digulingkan dari takhtanya lewat suatu ekspedisi yang
dilakukan orang-orang Abisinia. namun , sekitar 575, dataran tinggi
Yaman kembali jatuh ke tangan Persia.
Menjelang lahirnya Nabi Muhammad, penguasa Abisinia di
Yaman – Abraham, atau lebih populer dirujuk dalam literatur
Islam sebagai Abrahah – melakukan invasi ke Makkah, namun gagal
menaklukkan kota ini lantaran epidemi cacar yang menimpa
bala tentaranya. Ekspedisi ini – dirujuk al-Quran dalam surat 105
– pada prinsipnya memiliki tujuan yang secara sepenuhnya berada
di dalam kerangka politik internasional saat itu, yaitu usaha
Bizantium untuk menyatukan suku-suku Arab di bawah
pengaruhnya guna menentang Persia. Sementara para sejarawan
Muslim menambahkan tujuan lain untuknya. Menurut mereka,
ekspedisi ini – terjadi kira-kira pada 5521 – dimaksudkan untuk
menghancurkan Ka‘bah dalam rangka menjadikan gereja megah
di San‘a, yang dibangun Abrahah, sebagai pusat ziarah keagamaan
di Arabia.2
usaha kedua imperium adikuasa itu dalam rangka memperoleh
kontrol politik atas jazirah Arabia biasanya dilakukan secara tidak
langsung, seperti dengan jalan mendukung penguasa-penguasa kecil
di perbatasan kawasan ini . Kontrol politik Persia atas beberapa
kota kecil di pesisir timur dan selatan Arabia, misalnya, diperoleh
dengan mendukung kelompok-kelompok politik pro-Persia di
daerah-daerah ini . Suatu insiden yang terjadi di Makkah sekitar
590 – biasanya dikaitkan dengan nama Utsman ibn al-Huwairits –
dapat dilihat sebagai usaha Bizantium untuk memperoleh kontrol
politik atas kota itu dengan jalan membantu orang yang pro-
Bizantium ini menjadi penguasanya. namun , orang-orang Makkah
terlihat tidak berminat menjadi bawahan salah satu adikuasa dunia,
lantaran implikasi politiknya, dan orang dukungan Bizantium itu
dipaksa kabur dari kota mereka.
Pada permulaan abad ke-7, Persia mencatat serangkaian
kemajuan berarti dalam usaha perluasan pengaruh politiknya.
Pada 611 balatentaranya berhasil menaklukkan kota Raha,
kemudian bergerak ke selatan dan menundukkan satu demi satu
wilayah Imperium Bizantium. Siria jatuh ke tangannya pada 613,
menyusul Yerusalem pada 614 dan Mesir pada 617. Bahkan, pada
626 pasukan Persia mengepung Konstantinopel, meskipun
berlangsung sangat singkat dan tidak membawa hasil. Namun,
penjarahan Yerusalem yang dilakukan sesudah suatu pemberontakan
terhadap garnisun Persia, pembantaian warga kota ini
dan dibawa larinya benda yang dipandang sebagai salib suci, telah
membangkitkan emosi keagamaan orang-orang Kristen di seluruh
wilayah Imperium Bizantium. Kejadian ini tentunya sangat
kondusif bagi Heraclius – penguasa tertinggi Bizantium saat itu
– untuk menggalang kembali kekuatan militernya. sesudah
menghadapi orang-orang Avar yang menyerang Konstantinopel
dari utara, pada 622 Heraclius memusatkan perhatian untuk
menghadapi Persia. Suatu invasi yang berani ke Irak dilakukannya
pada 627. Walaupun balatentara Bizantium segera ditarik mundur
sesudah penyerbuan itu, namun ketegangan-ketegangan yang muncul
di dalam negeri Persia, akibat peperangan berkepanjangan, mulai
terasa. Kurang lebih setahun sebelumnya, Khusru II – penguasa
Persia waktu itu – dibunuh; dan penggantinya yang memiliki
banyak musuh di dalam negeri lebih menginginkan perdamaian.
Peperangan akbar antara kedua imperium adikuasa ini pun
berakhir. Negosiasi penyerahan propinsi-propinsi Bizantium yang
direbut Persia berjalan berlarut-larut hingga pertengahan 629.
Akhirnya, pada penghujung tahun itu Heraclius kembali ke
Konstantinopel dengan kemenangan di tangan.
Perebutan kekuasaan yang berkepanjangan antara Bizantium
dan Persia, seperti telah diutarakan, mendapat perhatian serius
dari orang-orang Arab saat itu, lantaran relevansi politiknya yang
nyata terhadap mereka. Tentang perebutan kekuasaan kedua
adikuasa ini , al-Quran menuturkan: “Telah dikalahkan bangsa
Romawi di negeri terdekat yang sesudah kekalahan itu mereka akan
memperoleh kemenangan dalam beberapa tahun lagi …” (30:2-4).
Bagian awal pernyataan ini merujuk kepada serangkaian kekalahan
yang dialami Bizantium pada permulaan abad ke-7 – khususnya
warga an Yerusalem oleh balatentara Persia. Sementara bagian
selanjutnya merupakan prediksi tentang kemenangan akhir
Bizantium atas Persia pada perempatan kedua abad yang sama.
Kehidupan di Jazirah Arab
Risalah yang dibawa Muhammad memiliki keterkaitan yang
erat dengan milieu dunia perniagaan warga perkotaan Arab
saat itu. Tanah air pertama Islam, Makkah, merupakan pusat
perniagaan yang sangat makmur. Sementara tanah air keduanya,
Yatsrib – atau kemudian berganti nama dan lebih populer dengan
Madinah – yaitu oase kaya yang juga merupakan kota niaga,
sekalipun tidak sebesar Makkah. Meskipun Madinah memiliki
peran sentral yang amat vital dalam evolusi eksternal misi kenabian
Muhammad, namun milieu komersial Makkahlah yang tampaknya
paling mendominasi ungkapan-ungkapan al-Quran.
Pada penghujung abad ke-6, para pedagang besar kota Makkah
telah memperoleh kontrol monopoli atas perniagaan yang lewat
bolak-balik dari pinggiran pesisir barat Arabia ke Laut Tengah.
Kafilah-kafilah dagang yang biasanya pergi ke selatan di musim
dingin dan ke utara di musim panas, dirujuk dalam al-Quran (106:2).
Rute ke selatan yaitu ke Yaman, namun biasanya juga diperluas ke
Abisinia. Sementara rute ke utara yaitu ke Siria. Di tangan kafilah-
kafilah dagang inilah orang-orang Makkah mempertaruhkan
eksistensinya yang asasi. Di lembah kota Makkah yang tandus,
pertanian maupun peternakan yaitu impian indah di siang bolong.
Kota ini sangat bergantung pada impor bahan makanan. sebab
itu, kehidupan ekonominya yang khas yaitu di bidang perniagaan
dan kemungkinan besar cuma hanya bersifat moneter.3
Perdagangan dan urusan-urusan finansial yang bertalian
dengannya menjanjikan satu-satunya penghasilan bagi warga
kota Makkah. Bahkan, secara ekonomis, hampir setiap orang
menaruh minat yang besar pada kafilah-kafilah dagang. Penjarahan
atas suatu kafilah ataupun musibah lain yang menimpanya akan
merupakan pukulan berat dan bencana bagi warga kota
ini . Itulah sebabnya, susaha keamanan kafilah-kafilah
terjamin, orang-orang Quraisy harus melakukan negosiasi dengan
negara-negara tetangganya dan menjalin hubungan baik dengan
suku-suku pengembara di berbagai bagian rute perniagaan.
Empat bersaudara anggota suku Quraisy dari keluarga Abd al-
Manaf – Hasyim, al-Muthalib, Abd al-Syams dan Naufal – dikabarkan
telah memperoleh jaminan keamanan4 dari penguasa-penguasa
Bizantium, Persia, Abisinia dan Himyari. Hasyim dilaporkan
memperoleh jaminan keamanan dari beberapa penguasa, termasuk
dari Qayshar Bizantium; al-Muthalib juga memperoleh perjanjian
yang sama dari penguasa Yaman; Abd al-Syams mendapatkannya
dari penguasa Abisinia; dan Naufal memperolehnya dari Kisra Per-
sia. Jaminan keamanan sejenis juga diperoleh dari suku-suku Arab
di sepanjang perjalanan keempat bersaudara anggota suku Quraisy
itu.5 Jadi, bisa dikatakan bahwa imperium niaga orang-orang
Makkah dalam kenyataannya dibangun keluarga Abd al-Manaf lewat
pakta-pakta perniagaan mereka.
Supremasi kaum Quraisy di dunia perniagaan, dalam
kenyataannya, memiliki fondasi religius. Mereka berdiam di dalam
suatu kawasan yang dipandang suci seluruh suku Arab. Suku-suku
ini bahkan rela meregang nyawa mempertahankan gagasan tentang
kesucian Makkah.6 Lebih jauh, mereka juga merupakan penjaga
Ka‘bah, dengan “batu hitam” (al-hajar al-aswad) beserta segala
berhala di dalamnya, yang merupakan tempat suci yang diziarahi
orang dari berbagai penjuru Arabia Barat. Jadi, Ka‘bah jelas
merupakan tempat suci yang memiliki posisi sentral bagi suku-
suku di Arabia Barat, dan hal ini tentunya sangat menguntungkan
bagi aktivitas niaga yang dijalankan orang-orang Makkah.7
Meskipun kata tãjir (“pedagang”) tidak digunakan di dalam
al-Quran dan kata tijãrah (“perniagaan”) cuma hanya disebutkan dalam
sembilan kesempatan,8 perniagaan merupakan tema sentral
dalam kehidupan yang tercermin dalam perbendaharaan kata
yang digunakan kitab suci ini . Seorang sarjana Amerika
beragama Yahudi, C.C. Torrey, yang melakukan penelitian tentang
hal ini, sampai kepada kesimpulan bahwa istilah-istilah perniagaan
digunakan kitab suci ini untuk mengungkapkan butir-butir
doktrin yang paling mendasar, bukan sekadar kiasan-kiasan
ilustratif.9 Ia menganalisis terma-terma perniagaan dalam kategori-
kategori berikut: terma-terma matematik (hisãb, al-hasîb, ahshã),
takaran dan ukuran (wazana, mîzãn, tsaqula, mitsqãl), pembayaran
dan upah (jazã, tsawwaba, tsawãb, waffã, ajr, kasaba), kerugian dan
penipuan (khasira, bakhasa, zhalama, alata, naqasha), jual-beli
(syarã, isytarã, bã‘a, tijãrah, tsaman, rabiha), serta pinjam-meminjam
dan jaminan (qardl, aslafa, rahîn).10
Ungkapan-ungkapan dari dunia perniagaan memang
menghiasi lembaran-lembaran al-Quran dan digunakan untuk
mengungkapkan ajaran-ajarannya yang asasi. Hisãb (), suatu
istilah yang lazim digunakan untuk perhitungan untung-rugi dalam
dunia perniagaan, muncul di beberapa tempat dalam al-Quran
sebagai salah satu nama bagi Hari Kiamat (yawm al-hisãb),11 saat
perhitungan terhadap segala perbuatan manusia dilakukan dengan
sangat cepat (sari‘ al-hisãb).12 Sementara kata hasîb (“pembuat
perhitungan,” “penghitung”) dinisbatkan kepada Tuhan dalam
kaitannya dengan perbuatan manusia.13 Gagasan utama yang
mendasari “perhitungan” ilahi yaitu kitãb, yang merekam segala
perbuatan baik dan buruk manusia.14 Timbangan akan dipasang
di Hari Perhitungan dan seluruh perbuatan manusia akan ditakar.15
Setiap orang akan bertanggungjawab atas segala perbuatan yang
telah dilakukannya.16 Perbuatan baik dan direstui akan memperoleh
imbalan atau upah; sebaliknya, perbuatan buruk dan dikutuk akan
diganjar azab neraka. Kata-kata kerja kasaba (“memperoleh
keuntungan,” “berusaha,” “berbisnis”), jazã (“membayarkan,”
“memberi upah,” “ganjaran,” “imbalan”), ãjara (“memberi upah,”
“membayar nilai kontrak,” “imbalan”), serta berbagai bentuk
konjugasinya, sering digunakan al-Quran dalam konteks-konteks
semacam ini.17
Ungkapan-ungkapan dari dunia perniagaan lainnya yang lazim
digunakan dalam warga niaga Makkah, seperti “menjual,”
“membeli” – atau “barter” – dan “transaksi” pada umumnya, juga
digunakan al-Quran untuk mengungkapkan gagasan-gagasan
keagamaan Islam yang mendasar. Dalam 9:111, disebutkan:
“Sesungguhnya Tuhan telah membarter (isytarã ) dari orang-orang
beriman diri dan harta mereka dengan memberikan surga kepada
mereka … maka bergembiralah dengan transaksi (bay‘ ) yang telah
kamu lakukan, dan itulah kemenangan yang besar.” Orang-orang
beriman dinyatakan sebagai “Orang-orang yang menjual (yasyrûna)
kehidupan dunia ini dengan kehidupan akhirat” (4:74).18 Sementara
orang-orang tidak beriman dikatakan “Telah membarter (isytarawû)
kesesatan dengan petunjuk” (2:l6),19 atau “kekafiran dengan
keimanan” (3:l77). Lebih jauh, kata bay‘ di beberapa tempat dalam
al-Quran juga dihubungkan dengan Pengadilan Akhirat, dan
disebutkan bahwa pada hari itu tidak ada lagi transaksi (2:254; 14:31).
Beberapa ilustrasi istilah perniagaan-teologis yang dikemukakan
di atas cuma hanya merupakan sebagian kecil dari ungkapan-ungkapan
al-Quran yang memiliki sentuhan erat dengan dunia bisnis Makkah.
ada berbagai konteks lainnya di dalam al-Quran, di mana istilah-
istilah perniagaan lain telah digunakan untuk mengekspresikan
ajaran-ajaran mendasar kitab suci ini .20 Bahkan, dalam konteks
Madaniyah, istilah-istilah semacam itu juga sering digunakan dalam
bagian-bagian al-Quran yang berhubungan dengan ketentuan-
ketentuan hukum bagi kaum Muslimin. Kata mîzãn (“timbangan”),
misalnya, digunakan dalam 6:151-152: “Katakanlah: Marilah
kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu …Dan
sempurnakanlah takaran dan timbangan (mîzãn) dengan adil.”
Demikian pula, kata ajr/ujûr (“imbalan”), digunakan dengan makna
mahar perkawinan dalam 4:24-25; 5:5; 33:50; dan 60:10. Sementara
dalam 65:6, ujûr diperintahkan untuk diberikan kepada wanita-wanita
dalam masa ‘iddah yang menyusui anak.
Namun, di tengah-tengah warga niaga ini, sebagaimana
halnya dalam warga -warga niaga pada umumnya, muncul
masalah-masalah akut bertalian dengan disekuilibrium dan
pergolakan sosial. Praktek-praktek perekonomian yang tidak etis dan
eksploitatif, selain memperlebar jurang pemisah antara yang kaya
dan miskin, juga telah mengancam kohesi sosial warga Makkah.
Al-Quran menyinggung kecurangan yang dilakukan pedagang-
pedagang Makkah dalam takar-menakar dan timbang-menimbang,21
serta praktek riba yang merupakan fenomena umum di Makkah
maupun Madinah.22 Sementara eksistensi beberapa orang tertindas
serta neraka perbudakan dan orang-orang sewaan juga memiliki andil
dalam memperlebar kesenjangan sosial di Makkah.23
Sekalipun orang-orang Makkah secara konstan sibuk dalam
aktivitas niaganya, mereka tetap mempertahankan ciri
pengembaraannya. Baru beberapa generasi mereka meninggalkan
kehidupan nomadik untuk menetap di Makkah, dan rentang waktu
yang belum begitu lama ini tentunya belum dapat mengubah
karakter ini . Kesibukan rata-rata orang Arab dalam dunia
bisnis bisa juga dikaitkan dengan pandangan dunia nomadik
mereka tentang kehidupan. Orang-orang yang menaruh perhatian
pada kebudayaan Arab mengenal dengan baik realisme sederhana
yang mencirikan weltanschauung pagan Arab. Realisme ini
bertalian secara intim dengan iklim padang pasir yang kejam.
Bagi orang Arab, dunia yang fana ini merupakan satu-satunya
dunia yang eksis. Eksistensi di luar batas dunia merupakan hal
yang nonsen. Konsepsi tentang eksistensi yang secara khas
mencirikan pandangan dunia pagan Arab ini direkam dalam
berbagai bagian al-Quran. Dalam 45:24 disebutkan: “Mereka
berkata: Kehidupan kita cuma hanya lah di dunia ini, kita mati dan
kita hidup serta tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa.”
Kemungkinan akan dibangkitkannya manusia dalam kehidupan
mendatang sama sekali merupakan konsepsi yang asing dan berada
di luar benak orang-orang Arab. Selain penegasan pagan Arab
tentang eksistensi satu-satunya di dunia ini, dalam 6:29 juga
dikemukakan penolakan mereka terhadap eksistensi di luar dunia:
“Kehidupan kita cuma hanya lah di dunia ini, kita sama sekali tidak
akan dibangkitkan.”24
Konsepsi pesimistik – sekalipun dipandang realistik – tentang
kehidupan di muka bumi ini memiliki implikasi yang jauh
menjangkau dalam kehidupan padang pasir. Pengejaran terhadap
kenikmatan semu duniawi yang dilakukan dengan berbagai cara –
mulai dari penjarahan kafilah-kafilah dagang dan suku-suku lemah
hingga praktek-praktek ekonomi yang eksploitatif dan tidak
bermoral – merupakan fenomena umum di Arabia. Jika kehidupan
cuma hanya terbatas di dunia ini dan suatu saat “masa” (dahr) secara
pasti akan membinasakan manusia, maka solusi paling realistik
yaitu hedonisme atau carpe diem. Bahkan, dalam konsepsi pa-
gan Arab, penumpukan kekayaan dalam rangka pengejaran
kesenangan duniawi dipandang bisa memberikan kehidupan abadi
(khulûd) kepada manusia di dunia.25
Telah dikemukakan di atas bahwa orang-orang Makkah
memiliki pertalian yang sangat erat dengan padang pasir dan
tetap berusaha mempertahankan ciri kehidupan nomadiknya.
Pijakan utama kehidupan di padang pasir yaitu penggembalaan
dan pengembangbiakan ternak, terutama unta yang memiliki daya
tahan tinggi di lingkungan seperti itu. Dengan menjual kelebihan
unta atau menerima upah sebagai penjamin keamanan kafilah-
kafilah dagang, kaum pengembara bisa membeli kurma dari oase-
oase dan bahkan barang mewah seperti khamr (anggur). Pada
musim penghujan atau musim semi, banyak lembah dan ngarai
yang ditumbuhi sayur-mayur secara berlimpah ruah namun berumur
pendek, yang darinya unta-unta memperoleh makanan serta cairan
untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Walaupun demikian, curah
hujan di Arabia tidak teratur, dan kaum pengembara mesti
mengubah geraknya selaras dengan perubahan iklim. saat sayur-
mayur musim semi telah menghilang, pengembara harus pergi ke
daerah-daerah terpencil lainnya yang memiliki mata air dan semak
belukar yang masih tetap hijau.
Kejamnya kehidupan di padang pasir turut mendominasi
tamsilan al-Quran di berbagai tempat. Kejadian di Hari Kiamat,
misalnya, digambarkan laksana gunung-gunung yang berubah
menjadi tumpukan pasir yang beterbangan (73:l4)26 – suatu
gambaran yang intensitasnya melebihi badai padang pasir yang
mesti dihadapi para pengembara. Situasi semacam ini juga
ditamsilkan al-Quran sehubungan dengan perbuatan orang-orang
kafir. Dalam 14:18 dikatakan bahwa amalan-amalan mereka seperti
debu pasir yang beterbangan dihempas angin ribut. Gambaran
lainnya tentang perbuatan orang kafir yaitu amalan mereka
laksana fatamorgana yang dari jauh terlihat seperti sumber air,
namun saat mereka sampai di sana tidak ada sesuatu pun
kecuali Allah (24:39). Sementara gambaran yang bertalian dengan
minimnya curah hujan di Arabia – yang dengannya tanah-tanah
“mati” menjadi “hidup” – bisa ditemukan dalam berbagai konteks
al-Quran lainnya.27
Lantaran tekanan populasi yang berkesinambungan terhadap
persediaan makanan, perjuangan untuk mempertahankan eksistensi
melawan saingan-saingan tidak pernah berakhir. Untuk
menghadapi musuh dan tolong-menolong melawan keganasan
alam, orang-orang Arab menyatukan dirinya ke dalam kelompok-
kelompok yang biasanya didasarkan pada pertalian darah.
Kelompok-kelompok ini relatif kecil dan biasanya dirujuk dengan
istilah banû (“anak keturunan,” “keluarga,” “klan”). namun , untuk
tujuan tertentu, kelompok-kelompok kecil bergabung dengan
kelompok-kelompok lainnya – baik berdasar pertalian keluarga
yang nyata maupun artifisial melalui keturunan nenek moyang
yang sama – dan membentuk suatu qawm (“suku”). Suku-suku,
berdasar tujuan dan kepentingan tertentu, terkadang bergabung
dengan suku-suku lainnya untuk membentuk federasi suku-suku.
sesudah hijrah ke Madinah, Nabi terlihat membentuk federasi
kesukuan semacam itu berdasar Piagam Madinah.
Selain beranggotakan warga penuh berdasar kelahiran,
keanggotaan suatu suku atau kaum biasanya diperluas mencakup
orang-orang atau suku-suku yang meminta perlindungan.
Pertambahan anggota kesukuan antara lain mengambil bentuk
seperti halîf (“sekutu berdasar kontrak”), jãr (“tetangga yang
dilindungi”), dan mawlã (“klien”). Dengan demikian, tampak
bahwa struktur sosial Arabia pra-Islam dan pada masa awal Islam
yaitu kesukuan. Suku, atau sub-kelasnya (banû), bagi orang-
orang Arab, tidak cuma hanya merupakan satu-satunya unit atau basis
kehidupan sosial, namun lebih jauh juga mencerminkan prinsip
perilaku tertinggi. Solidaritas kesukuan merupakan basis
keseluruhan gagasan moral paling mendasar yang di atasnya
warga Arab dibangun. Menjunjung tinggi ikatan kekeluargaan
berdasar pertalian darah melebihi segalanya di dunia ini, dan
melakukan segala sesuatu yang bisa mengangkat kehormatan serta
keharuman nama suku, merupakan tugas suci yang dibebankan
kepada setiap individu anggota suatu suku.
Kesetiakawanan kesukuan memang merupakan prasyarat
mutlak dalam kehidupan liar di padang pasir. Tanpa suatu taraf
solidaritas yang tinggi, tidak ada harapan bagi siapa pun untuk
meraih keberhasilan dalam mempertahankan eksistensi di tengah-
tengah iklim dan kondisi sosial padang pasir yang kejam. Dalam
taraf yang lebih jauh, solidaritas kesukuan mengharuskan seseorang
berpihak secara membabi-buta kepada saudara-saudara sesukunya
tanpa peduli apakah mereka keliru atau benar. Durayd ibn al-
Simmah, seorang penyair pra-Islam, secara efektif memperlihatkan
hal ini dalam sebuah syairnya:
saat mereka menolak saranku, aku tetap berpihak kepada
mereka sekalipun dengan sepenuhnya mengetahui
Bahwa aku berada dalam kekeliruan yang nyata saat
meninggalkan jalan yang tepat
Aku cuma hanya lah anggota (suku) Gaziyah. Jika mereka menempuh
jalan keliru,
Maka aku harus melakukan hal senada, sama seperti aku
mengikuti mereka saat mereka memilih jalan benar.28
Solidaritas kesukuan tidak cuma hanya merupakan karakteristik asasi
kehidupan di padang pasir, namun juga di kota-kota seperti Makkah
dan Madinah, serta bertalian erat dengan gagasan lex talionis (balas
dendam). Dalam kehidupan di jazirah Arabia, pada umumnya
seseorang akan berusaha menghindari mencelakai atau membunuh
orang lain, jika orang ini berasal dari suatu suku kuat yang
pasti akan menuntut balas atasnya. Menurut prinsip lex talionis,
bukanlah hal mutlak bahwa si pembunuh yang mesti dieksekusi
dalam balas dendam, namun siapa saja dari suku atau klan si
pembunuh yang berstatus sama dengan korban. Pada suatu
kesempatan di masa pra-Islam, seorang kepala suku dibunuh, dan
seorang anak muda yang berasal dari suku si pembunuh dibantai
dalam rangka balas dendam. namun suku yang menuntut balas
belum merasa puas sebab memandang nyawa anak muda itu tidak
lebih berharga dari tali sepatu kepala suku terbunuh. Akibatnya,
pecah peperangan sengit antar-suku yang banyak menumpahkan
darah.29
yaitu menarik bahwa secara politik Muhammad terlihat telah
menikmati keuntungan dari sistem perlindungan kesukuan di dalam
warga kota Makkah, khususnya pada tahun-tahun pertama
aktivitas kenabiannya. Ia bisa bertahan hidup di kota ini, sekalipun
dengan oposisi yang sangat keras, sebab berasal dari banû Hasyim
– suatu klan yang relatif cukup kuat di Makkah. Klan ini, berdasar
prinsip solidaritas kesukuan, terikat kehormatan untuk menuntut
balas atas setiap kerugian yang menimpanya, sekalipun banyak
anggota klan ini tidak bersetuju dengan agama barunya. namun ,
sesudah klan ini menarik perlindungan atasnya pada masa
kepemimpinan Abu Lahab – barangkali inilah yang melatarbelakangi
kecaman keras al-Quran terhadapnya dalam 111:1-5 – Nabi
melakukan hijrah ke Madinah. Di kota ini beberapa klan tertentu,
yang menerima risalah kenabiannya, bersedia memberikan jaminan
keamanan kepadanya.30
Semangat kesukuan di kalangan orang-orang Arab pra-Islam
memang tidak sebanding dengan konsep nasionalisme, seperti
dipahami dewasa ini, sebab dasar keterikatan mereka yaitu kepada
suku atau kaum. Walaupun demikian, ada adat-istiadat yang
diterima secara luas dan lazimnya dikenal sebagai muruwwah
(“kebajikan-kebajikan utama”). Muruwwah, antara lain, terdiri dari
keberanian, kedermawanan dan memegang janji. Selain itu, lex
talionis – seperti diuraikan di atas – juga tercakup ke dalamnya.
yaitu hal yang wajar dalam berbagai kondisi padang pasir
yang kejam jika keberanian memperoleh tempat tertinggi di antara
kebajikan-kebajikan utama lainnya. Di padang-padang tandus
Arabia, di mana kekuatan-kekuatan alam sangat bengis terhadap
manusia dan penjarahan antar-suku – dipandang sebagai olahraga
nasional, bukan suatu kejahatan – hampir merupakan satu-satunya
alternatif terhadap kematian, tidak ada yang dapat memungkiri
pentingnya kekuatan fisik dan kecakapan militer. Kehormatan
suku di kalangan pagan Arab, hingga taraf yang jauh, merupakan
masalah keberanian. Bagi orang-orang Arab Badui, perkelahian
berdarah – apakah bersifat kesukuan atau individual – merupakan
sumber dan dorongan utama kehidupan. Dengan demikian,
keberanian tidaklah dipandang secara sederhana sebagai senjata
untuk mempertahankan diri: ia merupakan sesuatu yang lebih positif
dan agresif.
Demikian pula, dalam kondisi padang pasir yang sulit,
merupakan hal amat mulia jika kedermawanan diberi tempat tinggi
dalam daftar kebajikan utama. Kebutuhan akan bahan-bahan pokok
yang sangat sulit diperoleh, telah membuat tindakan kedermawanan
sebagai salah satu aspek penting dalam perjuangan mempertahankan
eksistensi. Dalam pandangan orang-orang Arab, kedermawanan
bertalian erat dengan konsep kemuliaan, dan dianggap sebagai bukti
kemuliaan sejati seseorang. Bagi seorang pagan Arab, kedermawanan
bukan sekadar manifestasi dari rasa solidaritas kesukuannya, sebab
sangat sering kedermawanan diperluas kepada orang-orang asing di
luar keanggotaan sukunya. Tindakan kemurahan hatinya juga tidak
selalu didorong oleh motif berbuat baik. Baginya, kedermawanan
terutama sekali merupakan tindakan untuk membuktikan kemuliaan
dan, sebab itu, selalu dipamerkan.31
Sementara memegang janji di kalangan orang-orang Arab
merupakan salah satu kebajikan tertinggi lainnya yang paling khas.
Sebagaimana yang dapat diduga, kebajikan utama ini berhubungan
intim dengan masalah pertalian darah, dan dalam kebanyakan
kasus dipraktekkan dalam ikatan kesukuan. Kebajikan memegang
janji memanifestasikan dirinya dalam kerelaan seseorang untuk
berkorban nyawa tanpa pamrih demi membela sesama anggota suku
atau klan, sebab secara primordial ia terikat janji dan kehormatan
untuk melakukan hal ini . Dalam skala yang lebih luas, nilai
keteguhan memegang janji – dengan mempertimbangkan sulitnya
kehidupan di padang pasir – terlihat sangat penting, serta dijelmakan
dalam pakta-pakta antar suku dan institusi yang dikenal sebagai
“empat bulan suci,”32 saat seluruh pertikaian dan peperangan
mesti dihentikan dalam rangka memberi kesempatan kepada para
peziarah untuk melakukan ziarah ke kota-kota suci dan kepada
para pedagang untuk melakukan perniagaan.
Hal-hal yang bertalian dengan kehormatan (code of honor) di
kalangan orang Arab, yang sebagiannya telah diungkapkan di atas,
memiliki kedudukan penting sebagai latar historis untuk memahami
berbagai gagasan moral al-Quran. Nilai-nilai kesukuan Arab itu
sebagiannya ditolak secara tegas oleh al-Quran dan sebagian lagi
diterima, dimodifikasi serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
Islam. Lebih tegas lagi, nilai-nilai lama ini secara radikal telah
mengalami transformasi dan tercabut dari bentuk tradisional
kehidupan kesukuan Arab.33
Sisi lain dari kehidupan di jazirah Arab yaitu pertanian. Di
samping Yaman, ada beberapa oase di bagian barat Arabia yang
pekerjaan utama warga nya yaitu bertani. Yang terpenting dari
oase-oase ini yaitu Madinah. Panenan utama daerah ini yaitu
kurma, namun tanaman pangan lain juga dihasilkannya. yaitu
menarik bahwa dalam perkembangan pertanian di Madinah
maupun di oase-oase lain orang Yahudilah yang memainkan peran
utama. Peran ini barangkali tidak lazim jika dikaitkan dengan
eksistensi mereka sebagai pedagang dan penyandang dana di berbagai
belahan dunia lain sejak abad pertengahan hingga kini. Sekalipun
orang-orang Arab tertentu lebih belakangan menetap di Madinah
dibandingkan orang-orang Yahudi, namun secara politik mereka
lebih dominan. Di oase-oase lain seperti Tayma, Fadak, Wadi al-
Qura, dan Khaibar, pemukim utamanya juga orang-orang Yahudi.
Namun asal-asul etnis suku-suku dan klan-klan Yahudi di kawasan
“hijau” ini tidak begitu jelas. Dalam kebanyakan kasus, mereka
telah mengadopsi bentuk-bentuk kewarga an dan adat-istiadat
Arab, serta cuma hanya berbeda dalam agama.
Sisi “hijau” jazirah Arab ini dikemukakan al-Quran dalam
beberapa kesempatan. Sistem irigasi canggih di Arabia Selatan dan
kemusnahannya – sering disebut sebagai bobolnya bendungan
Ma’arib di sekitar 450 – dirujuk dalam 34:16. Masih ada
beberapa rujukan lainnya di dalam kitab suci ini kepada
pertanian yang telah memakai sistem irigasi.34 namun , bentuk
pertanian yang dipraktekkan di luar oase-oase di Arabia pada
umumnya bersifat musiman sebab ketergantungan yang sangat
pada curah hujan, seperti ditamsilkan al-Quran dalam berbagai
kesempatan.35
Suasana Keagamaan
Sebagaimana telah dikemukakan, di oase-oase sekitar Madinah
– Tayma, Fadak, Khaibar, Wadi al-Qura – dan di kota itu sendiri
serta Yaman, ada beberapa pemukiman Yahudi. Keberadaan
orang-orang Yahudi di Arabia mungkin bisa ditelusuri mulai abad
pertama Masehi. Penaklukan Yerusalem oleh Kaisar Titus (sekitar
70) serta penumpasan pemberontakan Bar Kochba (sekitar 135)
barangkali telah membuat beberapa orang Yahudi di kota ini
terpaksa meninggalkan negerinya untuk mengembara, dan
kemudian menetap di Arabia.36 Alfred Guillaume menyebutkan
enam kota Arab – Hijr, Ula, Tayma, Khaibar, Thaif dan Madinah
– yang menjadi tempat pemukiman Yahudi.37 Kota Makkah tidak
dimasuki, sebab merupakan pusat penyembahan berhala.
Sekalipun demikian, orang-orang Quraisy mengenal dengan baik
agama Yahudi, sebab kota itu berada di jalur perniagaan Yaman
dan Siria.
Berbeda dengan teori di atas, C. C. Torrey mengemukakan
dugaan tentang eksistensi suatu “koloni besar” kaum Yahudi di
kota Makkah.38 namun , pandangan ini tidak dilandasi dengan
bukti-bukti yang kuat. Mungkin saja ada satu-dua orang Yahudi di
Makkah, namun di dalam al-Quran maupun literatur-literatur
kesejarahan yang ditulis kaum Muslimin, tidak ditemukan sedikit
keterangan pun mengenai keberadaan warga Yahudi dalam
jumlah besar di kota itu.39
Berbeda dengan kaum Yahudi, orang-orang Kristen di Arabia
memiliki posisi yang tidak begitu baik ditinjau dari sisi difusi dan
kohesinya. Pengikut-pengikut Isa al-Masih ini tidak terkonsentrasi
di oase-oase. Meskipun demikian, agama Kristen memiliki beberapa
pengikut dari kalangan orang Badui yang tinggal di dekat
perbatasan Siria dan di Yaman – khususnya saat negeri ini berada
di bawah kekuasaan Abisinia – serta di Hira. Di Siria dan Yaman,
pemeluk Kristennya mengikuti sekte monofisit,40 sementara orang-
orang Kristen Hira menganut paham nestorian.41 Di Makkah
sendiri ada beberapa individu terpencil – seperti Waraqah ibn Nawfal,
sepupu isteri pertama Muhammad, Khadijah – yang menjadi
pengikut Kristus.
berdasar kenyataan-kenyataan historis seperti di atas,
beberapa penulis Barat modern telah mengajukan beberapa
spekulasi sehubungan dengan situasi keagamaan di Arabia dalam
kaitannya dengan gagasan-gagasan religius Yudeo-Kristiani.
Dikatakan bahwa sebelum kedatangan Islam milieu intelektual
Arabia telah dirembesi gagasan-gagasan Yudeo-Kristiani.42
Sementara penulis-penulis Barat lainnya memberi tekanan pada
salah satu dari kedua tradisi keagamaan Semit itu sebagai telah
mempengaruhi alam pikiran orang-orang Arab. Richard Bell,
misalnya, lebih menitikberatkan pada gagasan Kristen,43 sedangkan
C.C. Torrey pada gagasan Yahudi44. Namun, berbagai spekulasi ini
pada akhirnya ditujukan untuk menjelaskan “sumber-sumber” atau
asal-usul genetik al-Quran. Permasalahan ini akan dibahas dalam
bab mendatang. Di sini cuma hanya akan ditelusuri sampai sejauh mana
gagasan-gagasan Yudeo-Kristiani telah mendapat tempat dalam
milieu intelektual Arab.
Bahwa ajaran-ajaran tradisi Yudeo-Kristiani telah dikenal oleh
kebanyakan orang Arab, yaitu suatu kenyataan historis yang tidak
dapat dipungkiri siapa pun. Al-Quran sendiri mengkonfirmasi hal
ini. Dalam 27:67-68 disebutkan: “Orang-orang kafir itu berkata:
Apakah kita akan dihidupkan kembali sesudah kita dan bapak-
bapak kita menjadi tanah? Sesungguhnya hal ini telah dijanjikan
kepada kita dan bapak-bapak kita di masa lalu; ini tidak lain
cuma hanya lah dongengan-dongengan masa silam.”45 Kutipan dari al-
Quran ini memang memperlihatkan oposisi yang ditunjukkan
orang-orang Arab (Makkah) kepada ajaran kebangkitan kembali
manusia yang didakwahkan Nabi. namun , ungkapan “Sesungguhnya
hal ini telah dijanjikan kepada kita dan bapak-bapak kita di masa
lalu,”46 juga menjelaskan bahwa ajaran-ajaran tradisi keagamaan
Yudeo-Kristiani telah banyak dikenal di Arabia. Bahkan, ungkapan
ini lebih jauh menyiratkan petunjuk bahwa orang-orang Yahudi
dan Kristen pernah secara aktif melakukan agitasi religius guna
menarik orang-orang Arab – baik dalam skala besar-besaran maupun
kecil-kecilan – ke dalam agama mereka. usaha ini terlihat
cuma hanya membawa hasil terbatas, sebab selain kedua agama ini
– terutama Kristen – memiliki implikasi politik, kebanyakan or-
ang Arab lebih suka mengikuti tradisi nenek moyangnya atau tradisi
“bapak-bapak kami.”47 Sekalipun, menurut al-Quran, nenek
moyang atau bapak-bapak mereka tidak mengetahui sesuatupun
dan tidak mendapat petunjuk48 .
Meskipun ada individu-individu tertentu dari kalangan
pemeluk agama Yahudi dan Kristen di Arabia yang telah menerima
ajaran-ajaran agama mereka secara sistematis49 – belakangan
sebagiannya menyatakan keimanan kepada risalah yang dibawa
Muhammad, dan sebagian lagi tidak50 – kebanyakan orang Arab
yang mengikuti kedua tradisi keagamaan Semit ini memiliki
pengetahuan yang “kacau-balau” tentang agamanya, dan dalam
kasus-kasus tertentu kedua tradisi keagamaan ini telah
diadaptasikan dengan lingkungan kultural mereka. Sebagian
pribumi (ummiyyûn) Arab yang beragama Yahudi, misalnya, “tidak
mengetahui al-Kitab (Tawrat) kecuali khayalan belaka dan mereka
cuma hanya menduga-duga” (2:78). Bahkan, al-Quran mentamsilkan orang-
orang Yahudi yang memiliki Tawrat namun tidak memperoleh
manfaat darinya sebagai keledai yang dibebani kitab (62:5).
Dikatakan bahwa orang-orang Yahudi, sebagaimana halnya orang-
orang Kristen, telah menjadikan pendeta dan rahib mereka sebagai
arbãb (bentuk jamak dari rabb, “tuhan”) selain Allah (9:3l). Juga
ada kepercayaan yang berkembang di kalangan Yahudi Arab
bahwa Uzair (Ezra) yaitu “putra Allah” (9:30), suatu kepercayaan
yang barangkali cuma hanya mendapat tempat di kalangan orang-orang
Yahudi Arab saat itu serta tidak terbukti eksis dalam keyakinan
orang-orang Yahudi di berbagai belahan dunia lainnya. Kepercayaan
Yahudi Arab ini barangkali telah mengalami proses arabisasi
mengikuti kepercayaan tradisional Arab pra-Islam yang memandang
Tuhan memiliki anak-anak sebagai perantara. Di sisi lain, orang-
orang Yahudi Arab berkeyakin bahwa, berbeda dengan manusia
pada umumnya, mereka mempunyai hubungan keakraban yang
khusus dengan Tuhan (62:6).
Sehubungan dengan pemeluk agama Kristen dari kalangan
orang Arab, dikabarkan bahwa keseluruhan yang mereka ketahui
dari kepercayaan Kristen cuma hanya lah minum anggur (khamr).51
Informasi-informasi yang diberikan al-Quran juga menunjukkan
bahwa orang-orang Arab Kristen ini bukanlah pengikut aliran
ortodoksi agama ini , yang menjadi mazhab resmi di Impe-
rium Bizantium. Mereka pada dasarnya yaitu pengikut sekte
monofisit dan nestorian yang merupakan representasi Gereja Timur.
Kalau tidak, tentunya Muhammad – misalnya – tidak akan
mengenal ajaran mereka bahwa bukan pribadi Isa sendiri yang
disalib, melainkan orang lain (4:157); dan bahwa ajaran trinitas
Kristen bukanlah terdiri dari Bapak, Anak dan Ruh Kudus, namun
Tuhan, Yesus dan Maryam (5:116).
Di tiga tempat dalam al-Quran disebutkan pemeluk agama
lainnya, yakni shãbi’ûn, bersama-sama ahli kitab.52 Nama ini
biasanya dikaitkan dengan pengikut dua sekte keagamaan yang
terpisah: (i) Orang Mandean atau Subba yang mempraktekkan
ritus baptis di Mesopotamia; dan (ii) orang Sabean di Harran yang
merupakan sekte pagan penyembah bintang. Tidak jelas sekte
manakah yang dimaksudkan al-Quran dengan istilah shãbi’ûn.
Para ahli berbeda pendapat tentang hal ini.53 namun , keberadaan
kedua pengikut sekte ini di dan di sekitar Makkah serta
Madinah tidak dapat ditelusuri jejaknya.
Dalam rujukan terakhir al-Quran di atas (22:l7) juga disebutkan
pengikut agama Majusiyah, yakni orang-orang Majus. Bagian al-
Quran ini merupakan rujukan satu-satunya kepada majûs. Pengikut
agama Majusiyah ada di Yaman, Oman, Bahrain dan di Per-
sia sendiri, tempat asal agama ini . Pada masa penyebarluasan
Islam yang belakangan, baik orang-orang shãbi’ûn maupun majûs
diperlakukan sebagai ahli kitab.
Secara ketat, masalah keagamaan di Arabia pada umumnya
yaitu politeisme. Sekalipun kebanyakan orang Arab mengakui
dan menerima gagasan tentang Allah sebagai pencipta alam semesta
dan manusia,54 yang menundukkan matahari dan bulan,55 serta
yang menurunkan hujan, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi
sesudah matinya,56 namun penyembahan aktual mereka pada
faktanya ditujukan kepada tuhan-tuhan lain yang dipandang
sebagai perantara-perantara kepada Allah. Konsepsi pagan semacam
ini direkam al-Quran dalam beberapa kesempatan.57 Selain itu, al-
Quran juga mengemukakan nama tuhan-tuhan – atau tepatnya
dewi-dewi – ini : al-lãt, al-‘uzzã, dan al-manãt, yang dipandang
kaum pagan Arab sebagai puteri-puteri Tuhan,58 serta wadd, suwã‘,
yagûts, dan nasr, yang merupakan dewa-dewa Arab kuno.59 Namun,
dalam situasi-situasi tertentu, mereka biasanya menganut
monoteisme temporal tanpa peduli akan implikasi sikap ini .
saat berada dalam keadaan bahaya, mereka biasanya mengesakan
tuhan dengan ketulusan yang sangat. namun , sesudah lepas dari
marabahaya, mereka melupakan apa yang telah lalu dan kembali
menyekutukan Tuhan.60
Bahwa kaum pagan Arab melalaikan kewajiban menyembah
Tuhan dalam kehidupan keseharian mereka, namun dalam situasi-
situasi terjepit selalu ingat kepada-Nya, ditunjukkan al-Quran
dengan mengatakan bahwa sumpah-sumpah paling sakral yang
lazim digunakan pada masa pra-Islam yaitu sumpah-sumpah yang
menyebut kata allãh.61 Demikian pula, menjelang kelahiran seorang
anak, suami-istri biasanya memohon kepada Tuhan agar diberi anak
yang saleh. namun , sesudah diberi, mereka kembali menyekutukan
Allah.62 Selain itu, kaum pagan Arab juga mengenal Allah sebagai
Tuhan pemilik Ka‘bah, rabb al-bayt (l06:3).
Dari kepercayaan politeisme di atas – di mana Allah dipandang
sebagai Tuhan Tertinggi di samping tuhan-tuhan atau dewa-dewi
lain yang lebih rendah63 – individu-individu tertentu di Arabia
bergerak kepada kepercayaan terhadap satu tuhan saja. Gagasan
Yudeo-Kristiani, terutama tentang monoteisme, barangkali turut
memberi andil pada munculnya kesadaran keagamaan ini .
namun , watak dan kandungan ekspresi keagamaannya terlihat lebih
bersifat kearaban. Contohnya, Umaiyah ibn Abi al-Salt – orang
sezaman Nabi yang berasal dari Thaif – melukiskan agamanya
dalam salah satu kumpulan sajak sebagai “hanifisme” dan
“monoteisme.”64 Kesejatian kumpulan sajak yang ditulis al-Salt
ini, yang berbicara tentang dîn al-hanîfîyah sebagai satu-satunya
agama yang bisa bertahan hingga Hari Kebangkitan, memang telah
diragukan beberapa peneliti.65 Namun, keberadaan orang-orang
Arab tertentu yang menganut kepercayaan monoteistik semacam
itu pada masa pra-Islam merupakan suatu kenyataan historis yang
tidak dapat dipungkiri.
Kehidupan Nabi Muhammad
Muhammad saw. dilahirkan di Makkah sekitar 570, di tengah-
tengah keluarga atau klan (banû) Hasyim dari suku Quraisy yang
pamornya saat itu tengah surut.66 Ayahnya, Abd Allah, yaitu
seorang pedagang – sebagaimana profesi rata-rata orang Quraisy –
yang meninggal saat ia masih berada dalam kandungan ibunya,
Aminah. saat berusia sekitar 6 tahun, ibunya menyusul kepergian
ayahnya, dan si kecil Muhammad lalu diasuh kakeknya, Abd al-
Muththalib, yang juga meninggal saat ia berusia sekitar 8 tahun.
Selanjutnya, Muhammad diasuh pamannya, Abu Thalib, pemimpin
banu Hasyim yang relatif miskin, namun terhormat. Orang inilah
yang memberikan “perlindungan” kepada Nabi dan membelanya
secara mati-matian dari berbagai tantangan berat yang diajukan
pemuka-pemuka suku Quraisy terhadap agama baru yang
didakwahkannya, sekalipun terlihat bahwa Abu Thalib sendiri tidak
pernah menerima atau meyakini kepercayaan keponakannya.
Solidaritas kesukuan, yang merupakan karakteristik asasi kode etik
(muruwwah) suku-suku di Arabia, memang mengharuskan Abu
Thalib melindungi dan menuntut balas atas setiap kerugian yang
diderita Muhammad.
Sementara keyatiman dan kepapaan Muhammad dalam
kehidupan awalnya dikonfirmasi al-Quran dalam 93:6-8:
Bukankah Dia (Tuhanmu) mendapatimu sebagai yatim lalu
Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu dalam keadaan
bingung lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia mendapatimu
dalam keadaan kekurangan lalu Dia memberikan kecukupan.
Ayat pertama (93:6) yang dikutip di atas memberi petunjuk
tentang keyatiman Muhammad. Ayat terakhir (9:8) meng-
ungkapkan kehidupan awalnya yang penuh kekurangan. Sementara
ayat yang berada di antara keduanya (93:7) – yang mengindikasikan
tentang jalan sesat (dlãll) yang ditempuh Muhammad pada masa
mudanya, sebelum beroleh petunjuk (hudã) – dipersengketakan
maknanya di kalangan mufassir Muslim. beberapa mufassir
mengungkapkan bahwa yang dimaksudkan dengan kesesatan di
sini yaitu kekafiran, berdasar beberapa riwayat yang
mengemukakan bahwa Muhammad berada dalam urusan kaumnya
(kekafiran) hingga 40 tahun. Sementara mufassir lain yang
menekankan doktrin ma‘shûm – yakni para nabi terpelihara dari
dosa besar maupun dosa kecil baik sebelum maupun sesudah
pengangkatannya sebagai nabi – menolak pengertian kekafiran
semacam itu, dan berusaha menjelaskan “kesesatan” ini sebagai
“tersesat” di lorong-lorong kota Makkah, “tersesat” dari rumah
Halimah – pengampu yang menyusuinya saat kecil – atau dengan
menakwilkannya sehingga yang “tersesat” yaitu kaum Nabi.67
Sekalipun Muhammad berasal dari banu Hasyim yang
dihormati di Makkah, akan namun secara personal tampaknya ia –
sebelum pengutusannya sebagai nabi – tidak begitu diperhitungkan
di kalangan warga kota ini . Hal ini bisa dilihat dari protes
yang dikemukakan kaumnya saat ia memperoleh wahyu Tuhan,
sebagaimana direkam al-Quran dalam 43:31, “Dan mereka berkata:
‘Mengapa al-Quran ini tidak diturunkan kepada orang kuat dari
salah satu dari dua negeri (yakni Makkah dan Thaif) ini’.”
Bagian al-Quran lainnya bisa dijadikan indikasi tentang hal
ini, apabila disepakati bahwa kisah-kisah nabi terdahulu pada
faktanya merujuk kepada situasi yang dihadapi Nabi. Bagian al-
Quran ini yaitu 11:91, yang mengisahkan protes yang
dikemukakan kaum Nabi Syu‘aib kepadanya:
Dan mereka berkata: “Hai Syu‘aib, kami tidak banyak mengerti
tentang apa yang kamu katakan. namun sesungguhnya kami
melihat bahwa kamu merupakan seorang yang lemah di antara
kami. Kalau tidak sebab keluargamu tentu kami telah
merajammu. Dan kamu bukanlah orang yang berwibawa di
sisi kami.”
Di samping hal-hal di atas, yang secara umum tidak begitu
berarti atau bahkan bisa dikatakan “tidak mengungkapkan sesuatu
pun,”68 cuma hanya sedikit yang diketahui tentang bagian kehidupan
Muhammad sebelum pengangkatannya sebagai Nabi. Berpijak pada
al-Quran dan laporan-laporan sejaman, dapat dipastikan bahwa
Muhammad yaitu seorang yang suka bermeditasi atau bertafakur,
introvert, pemalu, agak penyendiri, dan concern akan kegelapan
yang tengah menyelimuti warga nya. Semasa muda, ia dikenal
sebagai al-amîn (“orang yang dapat dipercaya”), yang merupakan
indikasi tentang kejujuran dan kepekaan moralnya yang tinggi.
Pada usia dua puluhan, ia menjalankan misi dagang Khadijah
(w. 619), seorang janda kaya Makkah, ke Siria – suatu pengalaman
yang pernah dijalani semasa kecilnya bersama pamannya, Abu
Thalib. Khadijah, yang kagum akan kejujuran Muhammad,
kemudian meminangnya sebagai suami. saat itu, Muhammad
berusia sekitar 25 tahun dan Khadijah sekitar 40 tahun. Selama
lima belas tahun berikutnya Muhammad terlihat melanjutkan
perniagaan dengan modal bersama dan tidak menikah hingga
wafatnya Khadijah, saat Nabi berusia sekitar 50 tahun.
Tahap selanjutnya kehidupan Muhammad dimulai saat ia
berusia sekitar 40 tahun. Sebagaimana diketahui dari laporan-
laporan sezaman, beberapa waktu sesudah menikah dengan
Khadijah, Muhammad secara teratur pergi ke Gua Hira yang
terletak tidak jauh di sebelah utara kota Makkah. Keluhuran budi
pekerti telah mendorongnya melakukan tahannuts – biasa diartikan
sebagai tabarrur, melakukan perbuatan bajik (birr) dengan memberi
makan fakir miskin, atau ta‘abbud, beribadah, atau keduanya, yakni
tabarrur dan ta‘abbud 69 – ke gua itu untuk beberapa hari dan
terkadang beberapa minggu.
Selama dalam tahannuts Muhammad melakukan renungan-
renungan mendalam. Yang direnungkannya tidak diragukan lagi
yaitu masalah-masalah tentang Tuhan, Pencipta yang Mutlak dan
Pemelihara alam semesta, serta tentang ciptaannya – khususnya
masalah-masalah kewarga an manusia: disparitas sosio-
ekonomik, praktek-praktek niaga para pedagang kaya yang
eksploitatif dan amoral, serta cara penghamburan kekayaan yang
tidak bertanggungjawab dalam kaitannya dengan nestapa fakir
miskin, yatim piatu dan orang-orang tertindas, seperti tercermin
dalam praktek warga Quraisy.
Proses batiniah pengalaman religio-moral ini mencapai
puncaknya pada suatu malam – belakangan dirayakan kaum
Muslimin sebagai “malam keputusan” (laylatu-l-qadr) – saat ia
sedang tenggelam dalam relung renungan terdalam di Gua Hira.
Muhammad diseru oleh utusan wahyu, Jibril, kepada risalah Tuhan.
Ia melihat utusan spiritual ini dalam suatu visi (ru’yah) di “ufuk
tertinggi”. Mengalami ledakan spiritual yang tiba-tiba, Muhammad
merasa pasif secara total. Ia pulang ke rumah dalam keadaan
menggigil bersimbah keringat, kemudian mengisahkan pengalaman
batin itu kepada istrinya. Khadijah menenangkannya dengan
menegaskan kesejatian pengalaman penerimaan wahyu ini ,
sebab Muhammad dalam kenyataannya yaitu orang yang baik
dan tidak mungkin dirasuki ruh jahat. sesudah itu, ia tidak pernah
lagi ke Gua Hira untuk bertafakur, namun memulai misi historisnya
sebagai utusan Allah untuk umat manusia.
Pengalaman pertama kenabian Muhammad, menurut riwayat,
terjadi saat ia berusia sekitar 40 tahun atau lebih sedikit, kira-
kira pada tahun ke-13 atau ke-15 atau ke-10 sebelum Hijriah.70
Hal ini barangkali secara tidak langsung dikonfirmasi oleh al-Quran
(10:16). Pernyataan al-Quran dalam ayat ini – “Sesungguhnya aku
telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya (sebelum
pewahyuan al-Quran)” – memang mengindikasikan bahwa saat
diangkat sebagai nabi, Muhammad bukan lagi anak muda berusia
remaja. Ia berada dalam usia matang untuk pengalaman kenabian
ini .
Muhammad tidak pernah berkeinginan menjadi nabi atau
secara sadar mempersiapkan diri untuk itu. Hal ini dengan jelas
dikemukakan al-Quran di beberapa tempat.71 Namun, secara
naturalistik, dapat dikatakan bahwa ia – walaupun tanpa
disadarinya – telah mempersiapkan diri untuk diangkat menjadi
nabi. Sejak kecil ia memiliki kepekaan yang intensif dan alami
terhadap masalah-masalah moral yang dihadapi manusia. Kepekaan
ini semakin tajam saat ia menjadi yatim piatu dalam usia yang
masih belia. Muhammad tentu saja tidak berusaha secara sadar
untuk menambah kemampuan-kemampuan alaminya melebihi
manusia-manusia lain, sehingga saat seluruh faktor alami itu
berkolaborasi menuju suatu tujuan yang sangat kuat, maka hal ini
harus dikembalikan kepada Tuhan.
saat orang-orang pagan Arab mempermasalahkan
penunjukkannya sebagai nabi dan mempertanyakan kenapa wahyu
ilahi tidak diturunkan kepada “orang besar” di Makkah dan Thaif
(43:31), al-Quran mengemukakan jawaban yang bersifat religius
dan naturalistik. Pada sisi religius dikatakan: “apakah mereka yang
mendistribusikan rahmat Tuhanmu?” (43:32). Sementara jawaban
naturalistik terungkap dalam 6:l24: “Allah mengetahui di mana
menempatkan kerasulan-Nya.”72
Pada mulanya, Muhammad mendakwahkan risalah
kenabiannya secara privat kepada keluarga dan teman-teman
dekatnya. Istrinya, Khadijah, dan keponakannya, Ali ibn Abi Thalib
(w.661), merupakan orang-orang pertama yang membenarkan
kerasulannya. Pada umumnya, pengikut-pengikut awal Nabi berasal
dari kalangan tertindas yang tidak memiliki posisi sosial penting,
meskipun beberapa di antaranya yaitu pedagang kaya – seperti
Abu Bakr al-Shiddiq (w. 634) – dan individu-individu yang
mengalami fermentasi keagamaan – seperti Utsman ibn Maz’un.
namun , aristokrasi pedagang Makkah, yang memiliki pengaruh besar
dalam warga , menolak dakwah Nabi dan memakai
pengaruh mereka untuk membendungnya.73 Mereka memandang
dakwah Islam sebagai suatu ancaman terhadap tradisi “bapak-bapak
kami,” yaitu politeisme, yang darinya mereka beroleh keuntungan
material dan privilese sosial-ekonomi.
Sekitar dua tahun sesudah pewahyuan pertama, saat Nabi
menyampaikan pesan-pesan Ilahi secara terbuka kepada khalayak
ramai, timbul suatu oposisi yang aktif terhadap Islam, dan para
pengikutnya yang tidak begitu kuat mengalami penindasan keji.
Pemuka suku Quraisy mencoba membujuk Abu Thalib susaha
mempengaruhi keponakannya agar menghentikan dakwahnya, atau
menarik perlindungan banu Hasyim terhadap Nabi, namun usaha
ini mengalami kegagalan. Mereka juga menyebarkan propaganda
di kalangan pemimpin-pemimpin suku di Arabia pada musim haji
yang isinya menentang Muhammad, namun aksi ini malah
menghasilkan efek sebaliknya: nama Nabi dan misi kenabiannya
semakin dikenal secara luas di berbagai penjuru jazirah Arab.
Di tengah kondisi yang mengharu-biru ini, al-Quran
mengekspresikan diri dalam berbagai cara. Kitab ini sering
mengecam orang Makkah dengan ungkapan-ungkapan bahwa
mereka tidak mengerti, mereka tuli, bisu dan buta, hati mereka
terkunci, mereka laksana binatang bahkan lebih sesat lagi, dan
sebagainya.74 Situasi Makkah di kala itu sering dihubungkan
dengan umat-umat terdahulu yang diazab Allah sebab tidak
mendengar seruan nabi-nabi mereka.75 Di sisi lain, al-Quran
menegaskan bahwa kitab suci ini tidak diturunkan kepada
Nabi agar ia menderita (20:2), serta menghiburnya agar tidak
bersedih sebab keingkaran kaumnya terhadap ajaran yang
dibawanya (18:6). Muhammad cuma hanya lah seorang “pewarta kabar
gembira” (basyîr) dan “pemberi peringatan” (nadzîr).76 Bukanlah
tugasnya untuk menjaga atau memaksa orang-orang yang ingkar
itu (88:22; 50:45); “sesungguhnya Allah-lah yang memberi
pendengaran (yakni membuat mereka mendengar petunjuk) kepada
siapa saja yang Dia kehendaki, dan engkau (Muhammad) tidak
dapat membuat orang-orang di dalam kubur bisa mendengar”
(35:22). Jika Tuhan menghendaki, maka umat manusia di dunia
ini seluruhnya akan diberi hidayah dan menjadi satu kaum (5:48;
6:35; 10: 99; dll.).
Menghadapi penyiksaan sistematis terhadap pengikut-
pengikutnya yang rentan – dirujuk dalam al-Quran di beberapa
tempat77 – Muhammad menasehati mereka untuk berhijrah secara
temporal ke Ethiopia (Habsyi). Pada 615, beberapa orang
pengikutnya menuruti saran ini . Di waktu yang sama,
beberapa pemuka Quraisy yang berpengaruh dan kuat – paling
terkenal di antaranya yaitu Hamzah ibn Abd al-Muthalib (w.
625) dan Umar ibn Khaththab (w. 644) – menyatakan keimanannya
kepada risalah Nabi. Panik menghadapi perkembangan baru ini,
anggota-anggota penting majelis syura Makkah memutuskan
memboikot klan Nabi, banu Hasyim. Sekalipun tindakan
ekskomunikasi atau pengucilan ini telah menyebabkan penderitaan
yang sangat bagi banu Hasyim, tindakan itu pada umumnya
dipandang tidak membawa hasil yang diharapkan. Anggota-anggota
klan lain, yang terkait dengan banu Hasyim, secara sembunyi-
sembunyi menyuplai bahan makanan dan bantuan-bantuan
lainnya.
Menyadari bahwa mereka tidak dapat membungkam dakwah
Nabi atau menghancurkan gerakannya, orang-orang Quraisy
mencoba menempuh jalan kompromi. Mereka berjanji akan
mengikuti agama Nabi jika ia mengenyampingkan pengikut-
pengikutnya dari kelas rendahan, sebab merupakan hal yang tidak
patut bila mereka mesti duduk berdampingan dengan orang-or-
ang seperti itu, khususnya saat pemuka-pemuka suku Arab
ini mengunjungi Nabi. namun , al-Quran memberi peringatan
keras kepada Muhammad susaha tidak meninggalkan pengikut-
pengikut setianya demi memenuhi tuntutan elit Quraisy.78
Sebelum mengajukan tawaran kompromi, orang-orang Quraisy
telah berusaha melakukan negosiasi dengan Muhammad mengenai
beberapa masalah doktrinal yang diajarkannya: Jika Nabi
memodifikasi ajarannya untuk mengakomodasikan dewa-dewa
lokal mereka sebagai perantara-perantara manusia kepada Tuhan,
dan barangkali menghapuskan gagasan tentang kebangkitan
kembali manusia, maka mereka akan menjadi muslim. Tentang
kebangkitan kembali, tidak ada kompromi yang bisa ditawarkan.
Sementara tentang dewa-dewa perantara, dalam riwayat dikatakan
bahwa pada masa hijrah ke Ethiopia, saat janin warga Mus-
lim tengah berada dalam situasi sangat genting, Nabi suatu saat
cenderung kepada kompromi dan membacakan beberapa ayat
dalam surat 53 yang memperkenankan syafaat dewa-dewa pagan
Arab.79 Namun, ayat-ayat ini segera dihapus dan diganti dengan
ayat-ayat yang kini ada di dalam surat ini .
Bahwa orang-orang Makkah telah berulangkali membujuk
Muhammad agar mau berkompromi, disinggung al-Quran dalam
beberapa kesempatan.80 namun , usaha ini tidak membawa hasil
yang semestinya, sehingga orang-orang Quraisy mulai menyusun
rencana untuk mengusir Nabi dari kota Makkah. Dalam l7:76
disebutkan: “Sungguh mereka hampir membuatmu gelisah di sana
(Makkah) agar engkau terusir dari sana. Jika demikian halnya, maka
mereka tidak akan hidup sepeninggalmu kecuali untuk sebentar
saja.” Apabila kisah-kisah para nabi sebelum Muhammad
dipandang mencerminkan situasi yang dihadapi Nabi – yang tentu
saja dapat dijustifikasi serta didukung berbagai riwayat yang sampai
kepada kita melalui biografi-biografi (sîrah) Nabi – maka dapat
diinventarisasi rencana-rencana yang dibuat para penentang Islam
dari kalangan kaum Quraisy untuk membunuhnya, misalnya
dengan membakarnya hidup-hidup (21: 68; 29:24), merajamnya
(11:91; 18:20; 19:46; 44:20; 36:18), atau membunuhnya saat sedang
tidur (27:49).
Pada 619, Khadijah dan Abu Thalib secara berturut-turut
meninggal. Kepergian kedua orang ini merupakan suatu kehilangan
yang sangat berat bagi Nabi. Ia kehilangan bantuan duniawi yang
sangat penting baginya untuk mempertahankan kelangsungan
misinya. Pemimpin baru banu Hasyim, Abu Lahab, menarik
perlindungan klannya atas Muhammad. Tindakan ini dikecam
keras dalam surat 111. Menghadapi situasi kritis semacam itu,
Nabi berusaha mencari dukungan bagi perjuangannya dengan
mengunjungi kota Thaif dan berdakwah di sana. Di kota ini ,
ia tidak cuma hanya diperlakukan secara keji, namun juga dilempari batu,
dan akhirnya terpaksa kembali ke Makkah.
Sekembalinya ke Makkah, Muhammad mengunjungi kemah-
kemah suku Arab yang datang ke kota itu untuk melakukan ziarah
tahunan (haji). Di sini, ia berdakwah dan mendapat sambutan
positif dari sekelompok peziarah yang berasal dari Yatsrib
(Madinah). Para peziarah ini bahkan mengundangnya ke Yatsrib
untuk tinggal bersama mereka serta memberikan jaminan
keamanan atasnya. sesudah membahas syarat-syarat kepindahan
selama dua musim haji, akhirnya suatu perjanjian – dikenal sebagai
Perjanjian Aqabah – disepakati. Pada 622, Muhammad, dengan
ditemani Abu Bakr, berhijrah dari Makkah ke Madinah.81 Peristiwa
eksodus ini, pada masa pemerintahan Khalifah ke-2, Umar ibn
Khaththab, dijadikan sebagai tonggak inisiasi era Islam.
Langkah pertama yang dilakukan Nabi setiba di Madinah
yaitu membangun masjid, tempat sembahyang yang merupakan
pusat kehidupan Islam. Al-Quran merujuk peristiwa ini (9:108 f.)
dengan menegaskan bahwa masjid ini didirikan atas dasar
ketakwaan. Langkah lain yang dilakukan Nabi di waktu itu yaitu
menciptakan fondasi kewarga an dengan mengikat tali
persaudaraan antara kaum Muslimin yang berhijrah mengikutinya
(muhãjirûn) dan warga setempat yang menerima klaim
kenabiannya (anshãr,“penolong”). Sebagaimana diketahui dari
berbagai riwayat, mayoritas populasi Arab di Madinah segera
menyatakan keimanan mereka pada waktu Muhammad tiba di
kota ini atau segera sesudah itu.
Namun, masalah politik yang genting kini muncul, sebab –
menurut hukum kesukuan Quraisy – Nabi dan para pengikutnya
yang berasal dari Makkah dipandang sebagai buronan atau
pengkhianat yang harus dimusnahkan sekalipun berdomisili di
Madinah. Sementara warga kota Madinah sendiri terpecah
belah. Di samping dua suku besar – yakni Aus dan Khazraj – yang
saling bermusuhan, ada tiga suku Yahudi lainnya di Madinah:
banu Qainuqa, banu Qurayzhah dan banu Nadir. Sekalipun suku-
suku Yahudi ini terpecah-belah dan memihak kepada salah satu
dari kedua suku besar di atas, mereka merupakan suatu kelompok
tersendiri.
Di sisi lain, di kalangan kedua suku Arab yang telah menerima
Islam ada sekelompok orang yang disebut al-Quran sebagai
munãfiqûn. Kelompok ini yaitu pengikut Abd Allah ibn Ubay
yang berasal dari suku Khazraj. saat Muhammad tiba di
Madinah, Abd Allah ibn Ubay secara lahiriah menyatakan
keislamannya, namun secara diam-diam menyembunyikan rencana
menggerogoti Islam. Orang-orang munafik inilah yang secara
rahasia menggalang hubungan dengan orang-orang pagan Makkah
dan suku-suku Yahudi, serta secara konstan melancarkan intrik-
intrik terhadap kaum muslimin.82
Dalam beberapa bulan sesudah tiba di Madinah, Muhammad
berembuk dengan warga kota ini dan menghasilkan
suatu kesepakatan yang tertuang dalam Piagam Madinah, atau –
sebagaimana biasa diistilahkan – Konstitusi Madinah. Piagam
ini merupakan dasar pembentukan federasi suku-suku di kota
itu berpijak pada tradisi kesukuan Arab yang ada. Isinya
menguraikan hak dan kewajiban seluruh kelompok yang berdiam
di kota ini . Nabi diakui sebagai kepala arbitrator Madinah
untuk menyelesai-kan segala perselisilahan antar-komunal. Orang-
orang Yahudi diberi jaminan otonomi keagamaan dan kultural,
serta diakui sebagai suatu komunitas bersama-sama kaum
Muslimin. namun , kesepakatan yang tertuang dalam Piagam
Madinah ini tidak bertahan lama,83 lantaran perubahan situasi
dan kondisi yang sangat cepat.
Dokumen piagam ini ada antara lain dalam biografi
Nabi yang disusun Ibn Ishaq (w. 768).84 Seluruh sarjana, baik Mus-
lim maupun Barat, memberi kata sepakat tentang otentisitasnya.85
Yang menjadi masalah di kalangan mereka yaitu apakah dokumen
38 / TAUFIK ADNAN AMAL
itu merupakan dokumen tunggal atau terdiri dari beberapa
dokumen. Julius Wellhausen memandangnya sebagai satu kesatuan,
dan menduganya dibuat antara tahun pertama Hijriyah hingga
sebelum Perang Badr. Sementara W.M. Watt dan R.B. Serjeant
menganggapnya terdiri dari beberapa pakta yang digabung ke dalam
satu dokumen. Paruhan pertama dokumen itu, menurut Watt,
berasal dari masa sebelum Badr, dan sisanya dari berbagai masa
sesudah Badr.
Serjeant memberikan penanggalan lebih rinci terhadap berbagai
pakta dalam Piagam Madinah. Menurutnya, piagam ini terdiri
dari delapan dokumen terpisah yang, secara umum, disusun
menurut tatanan pembuatannya. Dokumen 1 dan 2 merupakan
pakta yang dibuat segera sesudah Muhammad tiba di Madinah.
Dokumen 3 dan 4 dibuat sebelum Badr dan mendefinisikan
hubungan Muslim-Yahudi di dalam warga Madinah.
Dokumen 5 mengakui kembali status orang-orang Yahudi sesudah
ketegangan antara mereka dan umat Islam pasca-Badr. Dokumen
6, yang memproklamasikan Madinah sebagai wilayah suci (harãm),
berasal dari masa belakangan. Dokumen 7 kembali menekankan
hubungan Muslim-Yahudi, yang kali ini mengungkapkan aliansi
antara kaum Muslimin dan banu Qurayzhah, segera sebelum
pengepungan Madinah pada 5H/627. Dokumen terakhir
merupakan ketentuan tambahan untuk dokumen 6 tentang
kesakralan Madinah.
sesudah berhasil melakukan konsolidasi di Madinah, Nabi
beralih pada tugas lainnya yang merupakan faktor penentu dalam
tugas kenabiannya, yakni mengislamkan Makkah. Sebagaimana
diketahui, Makkah – di samping pengaruh komersial dan politiknya
– merupakan suatu kota yang menjadi pusat keagamaan orang-
orang Arab. Dengan menarik kota ini menerima Islam, agama
ini tentunya akan menyebar ke daerah-daerah Arab lainnya. sebab
itu, kurang lebih satu tahun sesudah hijrah, Ka‘bah di Makkah
dinyatakan al-Quran sebagai objek haji, atau “tempat berkumpul
dan tempat yang aman bagi manusia” (2:125). Sekitar enam bulan
kemudian, tempat ini ditetapkan sebagai arah yang dituju
dalam shalat, menggantikan posisi Yerusalem (2:142-150).
Pada titik ini, beberapa penulis Barat mengungkapkan bahwa
tindakan-tindakan di atas merupakan indikasi yang kuat kepada
“nasionalisasi” atau “arabisasi” Islam yang dilakukan Nabi sebab
dikecewakan orang-orang Yahudi Madinah yang menolak
mengikutinya. Snouck Hurgronje, sehubungan dengan teori
“arabisasi” ini, misalnya, mengemukakan:
Pada mulanya, Muhammad yakin bahwa ia membawa kepada
orang-orang Arab apa yang diterima orang-orang Kristen dari
Isa, orang-orang Yahudi dari Musa, dan seterusnya, serta untuk
menentang orang-orang kafir ia dengan penuh keyakinan
menyebut sebagai bukti “orang-orang berilmu” (16:41; 21:7),
yang kepadanya seseorang cuma hanya perlu bertanya dalam rangka
memperoleh konfirmasi tentang kebenaran ajarannya. Di
Madinah ia mengalami kekecewaan, sebab para ahli kitab
tidak mau mengakuinya. sebab itu, ia mengusaha kan suatu

